Melalui sistem demokrasi kita terpaksa mendahulukan suara majoriti (dengan membelakangkan syari’at) setelah mana kita sendiri menyetujui perlaksanaan sistem tersebut.
ii - Mempertuhankan Suara Majoriti Manusia
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Ma’idah, 5: 100)
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Surah Yusuf, 12: 103)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kaum Muslimin dengan Islam sebagai satu-satunya jalan hidup,
“Sesungguhnya agama (yang diredhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (Surah Ali Imran, 3: 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumi orang-orang yang memilih jalan hidup lain selain dari jalan Islam di dalam firman-Nya yang berikut ini,
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Surah Ali Imaran, 3: 85)
”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.”(Surah asy-Syura, 42: 21)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan supaya mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Surah an-Nisaa’, 4: 60)
Dalam persoalan ini, ummat Islam tidak mempunyai pilihan lain melainkan mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Surah an-Nisaa’, 4: 59)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Surah al-An’am, 6: 116)
iii - Mempromosi dan Mengangkat (Memuji) Diri Serta Merendah-rendahkan Orang Lain
Perkara ini pada asalnya adalah tidak dibenarkan (haram). Seseorang adalah dituntut agar sentiasa merendah diri, tidak menonjolkan diri, atau membanggakan diri.
“(Iaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Surah an-Najm, 53: 32)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Kami tidak akan memberikan jawatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berusaha untuk mendapatkannya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Di samping mengangkat kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri sendiri, mereka pula saling tidak senang jika tidak memburuk-burukkan kelompok yang tidak sehaluan dengan mereka. Ini dilakukan antaranya adalah supaya pihak lawannya tewas dan tidak menang dalam pemilihan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surah al-Hujuraat, 49: 11)
Setelah melakukan penghinaan dan perendahan terhadap kelompok-kelompok lainnya yang tidak sehaluan, sebahagian mereka juga ada yang menebar fitnah dan prasangka-prasangka yang belum tentu kepastiannya. Malah, mereka juga saling memburuk-burukkan sesama mereka. Dalam persoalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan pra-sangka (kecurigaan), kerana sebahagian dari pra-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Surah al-Hujuraat, 49: 12)
iv - Terpaksa Mentaati Perundangan Kufur
Apabila memilih menceburi sistem demokrasi, mereka mesti berhadapan dan tunduk dengan pelbagai sistem perundangan kufur malah perlembagaan. Mereka juga tidak dapat tidak perlu merestui dan memperjuangkan sistem yang sedia ada berserta keputusan yang dibuat atas kesepakatan suara. Pada akhir-akhir ini juga telah kedengaran betapa terdapat kelompok-kelompok yang melabelkan diri sebagai “Parti memperjuangkan Islam” tertentu yang kononnya cuba memperjuangkan sistem demokrasi yang telus dan agar perlembagaan dilaksanakan dengan bersih. Apakah motif perkataan mereka? Apakah mereka mahukan (mengharapkan) sesuatu yang bersih dari sesuatu yang sebenarnya memiliki dasar yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),
”Wahai Nabi, bertaqwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Surah al-Ahzab, 33: 1)
”Maka Allah akan memberi keputusan (pengadilan) di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Surah an-Nisaa’, 4: 141)
v - Mengabaikan dan Mempersendakan Persoalan al-Wala’ wal Bara’
Dalam persoalan ini, betapa celarunya pemikiran mereka yang terlibat dengan sistem demorkasi tersebut. Mungkin sama ada mereka memang tidak memahami prinsip al-Wala’ wal Bara’ ini atau memang sengaja mereka melanggarinya dengan pelbagai alasan yang menjurus kepada nafsu politik semata-mata.
Hubungan di antara sesama kaum musimin, pemerintah Islam, kaum kuffar, dan seumpamanya dilakukan dengan jauh menyimpang dari tuntutan atau landasan syari’at. Dalam satu-satu keadaan mungkin mereka meletakkan kecintaan (wala’) kepada orang kafir melebihi cintanya kepada muslim sendiri. Begitu juga dalam hal mereka meletakkan kebencian dan berlepas diri (bara’) kepada kaum muslimin lebih tinggi berbanding pelepasan dan kebenciannya kepada prinsip-prinsip orang-orang kafir. Dalam konteks adab kepada pemerintah juga habis tunggang langgang mereka lakukan. Gejala fitnah memfitnah, menyebarkan ‘aib kelompok atau individu tertentu di khalayak ramai menjadi suatu perkara yang biasa, malah menjadikan suatu keutamaan untuk mencari keburukan pihak yang lain yang tidak sehaluan dengan kelompok mereka demi semata-mata meraih kedudukan. Sesungguhnya semua ini adalah suatu musibah yang besar yang sedang berleluasa masa kini. Jelaslah, perangkap musuh telah mengenakan kita dan memecah-belahkan kesatuan kita semua.
vi - Demokrasi Membenarkan Mengkritik Pemerintah Secara Terbuka
Dalam sesebuah negara yang mengamalkan demokrasi, mereka membenarkan sama ada rakyat atau pihak pembangkang melakukan kritikan dan teguran secara terbuka sama ada melalui media-media umum, syarahan-syarahan terbuka, persidangan dewan parlimen, dan seumpamanya. Malahan sehingga bukan setakat kritikan dan teguran terbuka, makian, cercaan, dan ejekan-ejekan pun turut dilakukan terhadap pihak pemerintah. Lebih parah lagi, rahsia-rahsia pihak pemerintah disebarkan melalui risalah-risalah tertentu ke segenap tempat. Sebenarnya hal tersebut banyak membawa kepada keburukan di ketika mana keadaan masyarakat itu sendiri yang tidak ditarbiyah dengan agama serta ilmu yang benar boleh mengakibatkan perasaan kebencian kepada pemerintah. Sekaligus mampu membangkitkan rakyat untuk melakukan perkara-perkara yang tidak sepatutnya seperti pemberontakan dan perpecahan. Lebih teruk lagi apabila perkara yang tidak tentu kebenarannya berkenaan pemerintah disebar-luaskan ke dada-dada media dan ruang informasi seperti akhbar dan internet. Akibatnya adalah amat buruk sekali.
Sedangkan berdasarkan Islam, melakukan kritikan dan teguran terbuka, apatah lagi melakukan cacian, penghinaan dan cercaan kepada pihak pemerintah adalah merupakan suatu bentuk perbuatan yang mungkar dan amat-amat dilarang oleh Islam.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Jangan kalian mencela penguasa kalian, jangan kalian menipu dan membencinya. Bertaqwa dan bersabarlah kepada Allah, sesungguhnya perkaranya dekat.” (Hadis Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/69, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah 2/488, Tahqiq Dr. Basim Jawabirah dan beliau menghasankannya)
Perlu kita fahami menasihati pihak pemerintah adalah tidak sama sebagaimana menasihati orang lain. Perkara ini adalah berbentuk khusus sebagaimana berdasarkan hadis berikut,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya, kemudian bersendirian dengannya. Apabila penguasa itu mahu menerima nasihat, maka itulah yang diinginkan. Apabila tidak, sesungguhnya dia (yang menasihati) telah menunaikan kewajibannya.” (Hadis Riwayat Ibnu Abi Ashim 2/507, Ahmad 3/403, Hakim 3/290 dan hadis ini turut disahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Dhilalil Jannah hal. 507)
Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan bahawasanya Usamah bin Zaid pernah ditanya:
“Tidakkah engkau menemui Utsman kemudian menasihatinya?” Beliau menjawab: “Apakah kamu fikir aku tidak menasihatinya kecuali harus memberitahumu?! Sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata, dan aku tidak ingin membuka rahsia.” (Diriwayatkan oleh Bukhari 6/330, al-Fath 13/48, Muslim 4/2290)
Prinsip Islam di dalam persoalan ini adalah berusaha mengumpulkan hati manusia agar mencintai pihak pemerintah, iaitu menyebarkan rasa cinta di antara rakyat dengan pihak pemerintah, mengajak rakyat agar bersabar atas keburukan pihak pemerintah, sama ada terhadap tindakannya yang memonopoli terhadap harta, perlakuan zalimnya dan lain-lain. Istiqamah menasihati pihak pemerintah dengan rahsia (bukan secara terbuka), memperingatkan pihak pemerintah dari kemungkaran secara umum tanpa menyebutkan individu dan nama orangnya, iaitu sebagaimana memperingatkan bahaya zina secara umum, riba secara umum, bahaya rasuah (penyelwengan) secara umum dan yang seumpamanya. (Abdus Salam Barjis, Muamalatul Hukkam Fi Dhauil Kitabi wa as-Sunnah, hal. 111)
vii - Memilih Pemimpin Dari Kalangan Bukan Islam Atas Alasan Memperkuatkan Parti (Jama’ah)
“Khabarkanlah kepada orang-orang munafik bahawa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (iaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Adakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan adalah kepunyaan Allah.” (an-Nisaa’, 4: 138-139)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Ma’idah, 5: 51)
viii - Bersekongkol Dengan Orang-orang Kafir Untuk Saling Menjatuhkan Kelompok Selain Mereka (walaupun sesama muslim),
Maka, dalam situasi ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, iaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Surah al-Ma’idah, 5: 79-81)
Selain berkerjasama dengan kaum kuffar dalam saling menjatuhkan di antara kelompok yang berbeza haluan, sebenarnya mereka juga telah meninggalkan kerjasama dengan kaum muslimin lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan solat dan menunaikan zakat, lalu mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Surah al-Ma’idah, 5: 55-56)
ix - Mengambil Pemimpin Dari Orang Yang Mempersendakan Agama
Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (iaitu) di antaranya orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (al-Ma’idah, 5: 57)
Namun, pada ketika ini betapa begitu ramainya perkumpulan manusia yang pada asasnya bertunjangkan ideologi kepentingan peribadi dan parti masing-masing mereka mempergunakan agama demi mempromosi dan menampakkan seakan-akan merekalah yang terbaik, paling taat, dan paling layak untuk dinobatkan sebagai pemimpin. Maka, pada masa itulah, agama diolah mengikut citarasa mereka, manakala dalil-dalil agama diambil mengikut keperluan kepentingan mereka dan demi kelangsungan survival politik masaing-masing. Ini berlaku tidak kira sama ada di dalam kelompok parti yang memang tidak bertunjangkan Islam, mahu pun mereka yang mendakwa bahawa mereka membawa parti yang berasaskan Islam. Lebih parah lagi, kebanyakan parti yang bertopengkan “perjuangan Islam” itu sendiri sebenarnya hanya membawa agama plastik yang mana hakikat konsep parti mereka dipenuhi dengan bid’ah (amalan-amalan yang menyimpang dari agama sebenar) dan jauh dari pembangunan nilai-nilai ilmu yang sahih. Sungguh mengejutkan lagi, apabila kaum kafir juga sudah mula menggunakan nama dan sentimen Islam demi mempromosi diri dan mengambil hati masyarakat beragama Islam. Maka, sewajarnyalah kita melihat kembali kepada ayat-ayat Allah yang melarang keras mempergunakan dan mempersenda-sendakan agama. Apatah lagi demi kepentingan yang bukan selayaknya dan jauh dari asas tujuan mentauhidkan Allah. Sewajarnya kita tinggalkan dan berlepas diri dari mereka yang bersikap sedemian rupa.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (maksudnya),
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, kerana perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa’at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.” (al-An’am, 6: 70)
Manakala melalui beberapa hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda mengenai meminta jawatan yang antaranya,
“Kami tidak akan memberikan jawatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berusaha untuk mendapatkannya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga pernah bersabda kepada Abdur Rahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, “Ya Abdur Rahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jawatan pemerintahan. Apabila jawatan itu diberikan kepadamu disebabkan engkau memintanya, maka jawatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun apabila jawatan itu diberikan bukan kerana permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam memikulnya. Jika engkau bersumpah atas sesuatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan kafaratnya dan lakukanlah apa yang lebih baik.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
x - Fitnah Wanita
Di dalam sistem demokrasi, mereka tidak lagi mengira sama ada wanita atau lelaki yang mahu menjadi pemimpin. Mereka juga tidak lagi mengambil kisah persoalan percampuran (ikhtilat) di antara kaum lelaki dengan wanita sama ada semasa berkempen, berbahas, atau bersalaman.
Dalam perkara ini, terdapat suatu hadis yang menjelaskan berkenaan pengangkatan kaum wnaita sebagai pemimpin,
“Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Dari sini, salah satu hikmahnya adalah kerana wanita memiliki beberapa kelemahan dan keadaan yang dapat menghalanginya untuk melaksanakan tugas dengan baik dan sempurna jika dibandingkan dengan kaum lelaki. Wanita memiliki mental dan daya fizikal yang lebih lemah, tidak terlepas dari permasalahan biologi yang fitrah seperti haid, nifas, melahirkan anak, menyusui anak dan seumpamanya.
Berkenaan soal ikhtilat pun, kita sering melihat di media-media massa dan cetak di mana wanita dieksploitasikan sebagai bahan untuk berkempen, meraih undi, dan seumpamanya. Wanita bergerak ke sana dan ke mari tanpa menitik beratkan bagaimanakah soal auratnya, keselamatannya dan adakah dengan bersama mahramnya atau tidak? Malahan, demi sebuah kempen, mereka diarahkan dan sanggup pergi ke mana-mana saja pelusuk tempat untuk tujuan kelompok parti. Dan sehingga perlu berjumpa dengan sesiapa sahaja sehinggakan kaum lelaki juga ditemuinya dan diajak berbincang.
Dalam hal ini Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman (maksudnya),
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan”.” (Surah an-Nuur, 24: 30)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudungnya ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada ... (mahram mereka).” (Surah an-Nuur, 24: 31)
“...dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (Surah al-Ahzaab, 33: 33)
Dari Umaimah binti Ruqaiqah radhiyallahu ‘anha, beliau pernah mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersama beberapa orang wanita yang lain untuk tujuan berbai’at. Beliau menyatakan, “Mari kami membai’at engkau wahai Rasulullah (dengan maksud untuk berjabat (salam) tangan)”. Maka beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka, “Sesungguhnya aku tidaklah bersalaman tangan dengan kaum wanita”. (Hadis Riwayat at-Tirmidzi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan di dalam kitab al-Ikhtiyarat al-‘Ilmiyah,
Dan diharamkan memandang wanita yang bukan mahram dan kaum lelaki dengan syahwat. Dan barangsiapa yang menghalalkan perbuatan tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan kesepakatan para ulama, dan diharamkan memandang hal itu bersama dengan adanya gelojak syahwat, dan itulah yang telah ditetapkan oleh imam Ahmad dan asy-Syafi’i... dan menyentuh itu sama hukumnya seperti melihat, bahkan perkara itu lebih dahsyat lagi.
“Ditusukkan kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum yang terbuat dari besi adalah lebih baik baginya daripada ia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani
xi - Suburnya Perpecahan Di Dalam Masyarakat
Dalam sebuah aplikasi berpandukan sistem demokrasi, masyarakat dibenarkan untuk menubuhkan parti (kumpulan) demi untuk bertanding merebut kerusi dan membina kerajaan. Sekaligus membawa ideologi dan resolusi masing-masing bagi sebuah negaranya.
Maka, dari sini sebenarnya telah terbukti banyak sekali menimbulkan perpecahan dan pergolakan di antara masyarakat apabila masing-masing mahu memenangkan kelompok masing-masing yang berpandukan kepada pendapat dan pemikiran masing-masing. Sehingga ada dari mereka sanggup menggunakan dan mempermainkan isu agama demi kepentingan survival politik kelompok masing-masing. Maka, dari sini juga, secara langsung ia pasti akan membenarkan tersebarnya kepelbagaian ideologi yang sama ada menepati syari’at atau sebaliknya, malahan mungkin juga yang menentang. Maka, survival agama Islam akan menjadi terpinggir dan boleh dikikis nilai-nilainya dengan mudah melalui pelbagai jenis syubhat dan propaganda yang dimainkan.
Malahan, ia sekaligus menggalakkan perpecahan di kalangan masyarakat Islam itu sendiri. Hanya kerana sedikit perbezaan, maka masing-masing mula membuat haluan politiknya sendiri dan menubuhkan kelompok yang baru. Apabila parti saling berbeza, maka budaya menjatuhkan dan mengkritik di antara satu dengan yang lain akan terus bercambah dan subur. Maka, bermulalah bibit-bibit perpecahan dan pergolakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka sentiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan. Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang derhaka) semuanya.” (Surah Hud, 11, 118-119)
“..Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, iaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Surah ar-Ruum, 31-32)
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Surah al-Mukminuun, 23: 53)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (maksudnya),
“Sesungguhnya Allah meredhai kamu dalam tiga perkara dan membenci kamu dalam tiga perkara: Dia meredhai kamu apabila kamu beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu kepada-Nya, dan apabila kamu berpegang teguh kepada tali Allah semua dan kamu tidak berpecah-belah,...” (Hadis Riwayat Muslim)
xii - Fanatik Kepada Kelompok Masing-masing (Asabiyah)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),
“..Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, iaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Surah ar-Ruum, 31-32)
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Surah al-Mukminuun, 23: 53)
Sebuah kesombongan dalam menerima kebenaran yang jelas adalah suatu yang membawa maksud kepada membela sebuah kebatilan. Sikap fanatik dan taksub yang sekaligus menimbulkan perasaan tersangat cintanya kepada kelompok dan kumpulan masing-masing biasanya akan melahirkan kebencian kepada pihak selainnya. Dari itu juga, dia akan membenarkan apa sahaja yang datang dari kumpulannya dan mengkritik apa sahaja yang lahir dari kelompok selainnya. Ini sangat biasa berlaku di dalam parti-parti yang menyertai demokrasi pada masa ini.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (maksudnya),
“Barangsiapa yang tebrunuh di bawah panji kesombongan membela rasa taksub dan benci kerana taksub, maka terbunuhnya adalah atas landasan jahiliyyah.”
Pada masa ini, banyak sekali dari parti-parti yang menyertai demokrasi sama ada dari parti yang kononnya berlabel Islam atau pun bukan, mereka begitu aktif mendoktrin dan menyemai ahli-ahli mereka bahawa hanya kelompok merekalah yang sebaik-baiknya dalam membela negara. Bagi parti yang kononnya membawa panji-panji Islam pula, mereka akan mendoktrinkan bahawa merekalah pejuang-pejuang Islam yang tulen dengan laungan-laungan jihad dan seumpamanya yang palsu belaka. Atas sebab itu jugalah mereka mula mempertikaikan umat Islam lainnya yang berada di luar kelompok mereka sebagai kurang Islamic, kafir, jahil, bodoh, sesat, sekaligus menjadikan ia sebagai dalil yang membolehkan merendah-rendahkan dan menghinakan kelompok yang selain dari mereka.
Sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahawa betapa pentingnya ukhuwah dalam Islam itu. Dia juga menjelaskan betapa pentingnya untuk menunjukkan akhlak yang baik, wajibnya berlaku adil serta juga perlunya bermuamalah dengan baik terhadap mereka yang selain umat Islam. Segalanya telah lengkap diperjelaskan dengan kaedah-kaedahnya, tetapi kebanyakan mereka tidak mahu mengambil tahu atau sengaja buat tidak tahu. Maka, perkara ini adalah di antaranya berdasarkan beberapa ayat sebagaimana berikut,
“Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tetapi sekiranya yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sehingga mereka kembali kepada perintah Allah. sekiranya ia telah reda, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Surah al-Hujuraat, 49: 9-10)
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Surah al-Hujuraat, 49: 13)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) kerana Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-ma’idah, 5: 8)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Surah Ali Imran, 3: 159)
xiii - Meninggalkan Dakwah Aqidah
Dalam persoalan ini, berapa ramaikah di antara mereka yang membina parti-parti dalam berpolitik menitik-beratkan persoalan tarbiyah bermula dari dasar aqidah sebagai prioriti-nya. Kemudian bagaimana pula persoalan amalan dan keikhlasan? Apa yang jelas, begitu berleluasanya bid’ah dan penyimpangan yang terkandung di dalam parti-parti itu sendiri walaupun masing-masing mendakwa sebagai mewakili parti Islam. Malahan, sebenarnya mereka tidak lain, hanyalah mementingkan semangat asabiyah dan mengobarkan api kebencian kepada pemerintah sedia ada. Inilah dia dasar yang mereka bina iaitu perjuangan yang difokuskan atas dasar memenangkan parti semata-mata dengan menolak ketepi peroslan yang paling utama iaitu aqidah.
Ini jelas terbukti apabila mereka sanggup bersekongkol dengan orang-orang kafir sekaligus mengetepikan kaum muslimin yang selainnya atas sebab berbeza tujuan dan kelompok (parti) politik. Mereka juga bersedia menerima siapa saja di dalam keahlian tanpa mengira individu tersebut adalah syi’ah, kaum sesat dari pelbagai aliran tarekat dan sufi, golongan muktazilah (ahli ra’yi/falsafah), asya’irah, golongan liberal dan pelbagai lagi asalkan boleh bersama-sama mereka memenangkan parti masing-masing. Makanya di sini telah jelas bahawa fokus mereka adalah kekuasaan dan bukannya menjadikan kelompok mereka sebagai golongan yang beraqidah yang sahih dan jauh dari syirik atas manhaj ilmu.
xiv - Fitnah Gambar
Fenomena membuat gambar sebagai bahan untuk berkempen dan untuk publisiti begitu berleluasa. Selain itu, gambar-gambar tokoh dan pemimpin-pemimpin mereka dari kelompok masing-masing diagungkan dan dipotretkan dengan pelbagai cara atas alasan untuk menarik orang, untuk dikenang, dan untuk melahirkan semangat perjuangan.
Sedangkan di dalam hadis-hadis nabi, persoalan ini diterangkan dengan begitu jelas sekali.
Orang yang paling mendapat siksa pada hari kiamat adalah para pembuat gambar (pelukis/pengukir). (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Daripada ‘Aun bin Abu Juhaifa, Ayahnya menyatakan, “Nabi melarang mengambil duit jual beli anjing dan darah, melarang kerja-kerja membuat tatoo dan mentatoo diri, melarang menerima atau memberi riba, dan juga mencela pembuat gambar”. (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Daripada ‘Aisyah dia menjelaskan, “Aku membeli sebuah bantal bergambar. Apabila Rasulullah melihat ia, dia berdiri di pintu dan tidak terus masuk ke rumah. Aku menyedari air mukanya berubah kelihatan seperti ada sesuatu yang tidak disukainya. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya, (tolong beritahu aku) apakah dosa ku?” Rasulullah berkata, “Ada apa dengan bantal ini?” Aku menjawab, “Aku membelinya untuk engkau agar dapat duduk dan bersandar padanya”. Rasulullah berkata, “Pembuat gambar ini akan di-azab pada hari kiamat.” Rasulullah menambah, “Malaikat (pembawa rahmat) tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar”.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Daripada Said bin Abu al-Hasan, “Ketika saya bersama Ibnu ‘Abbas, seorang lelaki datang dan berkata, “Wahai Ibnu Abbas, pendapatan (periuk nasi) saya adalah dari hasil kerja tangan saya dan kerja saya adalah membuat gambar-gambar ini”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Saya sekadar memberi tahu apa yang saya dengar dari Rasulullah. Saya mendengar beliau bersabda, “Barang siapa membuat gambar dia akan di-azab oleh Allah sehingga dia mampu menghidupkannya dan sesungguhnya dia tidak akan berupaya untuk menghidupkannya”. Mendengarkan hal ini, lelaki itu menarik nafas panjang (mengeluh) dan mukanya menjadi pucat. Ibnu ‘Abbas berkata padanya, “Jika kamu masih tetap mahu untuk membuat gambar-gambar, saya menasihatkan agar kamu membuat gambar-gambar pokok (tumbuh-tumbuhan) dan sebarang gambar yang bukan berupa dari makhluk bernyawa”.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Daripada Ibnu ‘Abbas, “Aku mendengar Muhammad berkata, “Barang siapa membuat gambar di dunia ini, dia akan dipersoalkan serta diminta supaya memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya pada hari kiamat nanti, tetapi dia tidak akan mampu melakukannya”.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
... Ibnu ‘Abbas berkata padanya, “Jika kamu masih tetap mahu untuk membuat gambar-gambar, saya menasihatkan agar kamu membuat gambar-gambar pokok (tumbuh-tumbuhan) dan sebarang gambar yang bukan berupa dari makhluk bernyawa”.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
xv – Minoriti VS Majoriti
Sebagaimana yang kita sedia maklum bahawa demokrasi ditegakkan atas pungutan suara dari pihak yang memiliki suara atau undian majoriti. Maka, pemerintah yang bakal memegang tampuk pemerintahan atau kerajaan juga adalah dari kelompok majoriti atau parti yang mendapat undian terbanyak. Persoalannya di sini, bagaimanakah dengan haq-haq dan suara dari pihak yang menempati kelompok minoriti? Apakah mereka bakal mendapat keadilan sebagaimana pihak majoriti?
xvi – Wujudnya Unsur-unsur Pertaruhan (Perjudian)
Dalam proses pilihanraya di bawah prinsip sistem demokrasi, sesiapa sahaja layak dan dibenarkan untuk mencalunkan diri untuk bertanding menyertainya bagi tujuan merebut kerusi/jawatan. Dalam proses ini, selain melibatkan mencalunkan (mengangkat) diri sendiri, ia juga melibatkan pembayaran tetentu bagi membolehkan dia tercalun dan bertanding di dalam pemilihan jawatan atau kerusi yang dimaksudkan. Malah, dalam prosedur ini juga bakal mengakibatkan hilangnya wang bayaran (wang pertaruhan) apabila peserta (calun bertanding) tewas atau gagal memungut jumlah undian tertentu. Bukankah ini suatu bentuk pertaruhan/perjudian yang dilarang?
Jelaslah bahawa ia amat berbeza sekali dengan prinsip-prinsip Islam bahawa syari’at tidak sekali-kali membenarkan permainan wang pertaruhan bagi merebut jawatan tertentu, malah sebenarnya syari’at sendiri tidak membenarkan individu tertentu untuk mengangkat diri sendiri dinobatkan sebagai pemimpin/penguasa.
No comments:
Post a Comment