"Apakah kamu beriman dengan sebahagian al-Kitab dan kufur dengan sebahagian yang lain? Tidak ada balasan ke atas mereka yang melakukan demikian melainkan mendapat kehinaan di dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada azab yang paling keras"
(surah al-Baqarah ayat 85)

Nabi SAW pernah bersabda: "Allah paling murka kepada mereka yang beragama Islam tetapi mengikut landasan Jahiliah, dan juga kepada mereka yang ingin menumpahkan darah seseorang tanpa hak"
(Hadis diriwayatkan oleh Imam Tabrani dan Imam Bukhari)

"Apabila kita mencari kemuliaan dengan cara hidup yang lain dari Islam, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kita"
(Khalifah Umar al-Khattab)

Monday, July 20, 2009

Kelemahan Demokrasi Dalam Memilih Pemimpin


HAMPIR semua pemerintah atau pemimpin di dunia kini baik orang Islam atau bukan, telah naik melalui pemilihan. Yakni hasil pemilihan rakyat jelata di hari pemilihan yang dilakukan beberapa tahun sekali. Pemimpin manapun yang mendapat suara lebih dari yang lain, dialah yang naik menjadi pemerintah untuk negara tersebut. Cara pemilihan pemimpin yang seperti itu adalah cara Barat yang menganut ideologi liberal kapitalisme, yang mempraktekkan sistem demokrasi terbuka.

Hal seperti itu jauh berbeda dengan Islam yang merujuk pada Al Quran, Hadist dan ulil amri (ahlul halli wal 'aqdi). Dalam Islam, pemilihan pemimpin dibuat berdasarkan sistem demokrasi terpimpin. Artinya, mereka dipilih dari kalangan beberapa orang yang menjadi intipati masyarakat yang disebut ahlul halli wal 'aqdi. Di antara cara Islam dan cara Barat itu, terdapat perbedaan yang jauh. Saya akan membandingkan kedua hal itu supaya kita dapat melihat kebenaran dan kebijaksanaan sistem Islam.

1. Kita telah difahamkan bahwa melalui pemilihan umum, pemimpin yang naik adalah pilihan mayoritas rakyat jelata. Padahal bila diamati, hal itu tidak semestinya terjadi. Misalnya dua orang calon bertanding di kawasan yang memiliki 10 ribu pemilih. A mendapat 4500 suara, B mendapat 4000 suara dan yang tidak memilih 1500.

Perbedaan antara keduanya cuma 500 suara saja. Tetapi yang tidak memilih sebanyak 1500. Artinya A cuma diterima oleh 4500 orang rakyatnya. Sedangkan 5500 lagi menolak kepemimpinannya. Hal itu sebenarnya akan membentuk satu pemerintahan yang tidak stabil. Negaranya mudah goyang.

Keadaan akan menjadi lebih malang kalau terjadi seperti ini: terdapat tiga orang calon yang bertanding di kawasan yang pemilihnya ada 10 ribu orang. Keputusannya,

A dapat 3300 suara
B dapat 3300 suara
C dapat 3400 suara

Artinya C menang dengan penyokongnya 3400 sedangkan penentangnya kalau ditambahkan antara dua calon yang lain ialah 6600. Secara demokrasi, bagaimana dapat dipastikan bahwa dia naik atas dukungan mayoritas? Karena penentangnya lebih banyak daripada pendukung. Coba gambarkan dalam sebuah negara yang penyokongnya sedikit dan penentangnya banyak, bagaimana negara itu akan stabil? Huru-hara selalu terjadi dan pemerintahan dapat tumbang dengan mudah.

2. Melalui sistem pemilihan umum, semua rakyat disuruh memilih pemimpin termasuklah orang tua yang sudah uzur, orang buta, orang jahil, orang jahat, perempuan dan orang-orang yang tidak tahu-menahu mengenai pemimpin dan kepemimpinan. Orang-orang seperti itu turut menentukan corak kepemimpinan negara.

Saya yakin, di sebagian negara (yang tidak berpendidikan) 95% dari pemilih yang memilih itu tidak tahu-menahu tentang dasar pemerintahan partai yang didukungnya. Apakah keputusan mereka menjamin kebaikan dalam pemerintahan? Kalaulah satu partai itu menang hasil dukungan orang-orang jahil itu, apakah partai itu dapat berbangga? Padahal yang menentangnya adalah dari kalangan cerdik pandai yang dapat menilai sekalipun jumlahnya minoritas.

3. Hari ini bermacam-macam golongan manusia yang turut memilih. Golongan peniaga, petani, buruh, nelayan, cendekiawan, budayawan, seniman, artis, olah ragawan, pegawai-pegawai dan lain-lain yang datangnya dari berbagai bangsa dan kaum minoritas. Masing-masing golongan mempunyai niat masing-masing. Mereka memilih satu partai bukan karena menyokong dasar partai itu. Tetapi karena marah pada partai lawan.

Sebab itu bila parti yang disokongnya menang, maka mereka akan menuntut keinginan mereka masing-masing. Sepuluh golongan, sepuluh perkara yang diminta. Sekalipun yang diminta itu membebankan pemerintah dan rakyat, namun terpaksa dilakukan. Dasar partai yang sebenarnya hilang tenggelam. Pemerintah tidak dapat mewarnai negara tetapi rakyatlah yang melakukannya. Pemerintah terpaksa menuruti kehendak-kehendak golongan tadi, bukan menuruti dasar partainya serta kepentingan umum. Lebih-lebih lagi kepentingan ALLAH dan Rasul.

4. Bila pemilih itu tidak faham dasar partai yang didukungnya, mereka juga tidak dapat menilai segala penyelewengan yang dibuat oleh pemerintah. Artinya, mereka tidak dapat menegur atau memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal itu membuat pemerintah dapat melakukan apa saja dengan sewenang-wenang.

Di situ mungkin ada orang berkata, "Itulah perlunya orang-orang yang baik menjadi calon". Saya jawab begini, "Orang baik, tidak pernah mencalonkan diri. Kenaikan mereka adalah karena ditonjolkan oleh orang lain melalui cara yang bersih". Yaitu melalui ahlul halli wal 'aqdi. Lagi pula mana boleh orang-orang baik yang menang kalau mayoritas rakyat yang memilih jahat-jahat belaka?

5. Sebagian orang yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin adalah orang-orang politik yang kebolehan istimewanya adalah pandai berpidato. Pembicaraannya membangkitkan semangat dan mempesona orang yang mendengar serta pandai mencari kesalahan-kesalahan dan menuduh orang lain.

Artinya, dia mengaku dirinya baik dan bukan orang lain yang membuat pengakuan tentang kebaikannya. Maka jadilah dia tokoh besar.

Perangainya tak difikirkan oleh orang, cara hidupnya tidak diperhatikan, agamanya atau takwanya tidak dipedulikan, ilmu, pengalaman, kecerdikan dan karisma kepemimpinannya tidak diperhitungkan, kreativitas dan buah fikirannya tidak dinilai, keturunan, latar belakang dan pendidikan yang diterima tidak diperdulikan.

Pendek kata, syarat-syarat untuk menjadi pemimpin cuma dinilai pada pandai berkampanye, pandai berbicara dan pandai membicarakan kejelekan orang lain saja. Sedangkan memimpin itu bukannya untuk berbicara atau mengejek orang saja. Sebaliknya memimpin ialah:

a. Mendidik manusia agar menjadi hamba ALLAH dan khalifahNya. Yakni menjadi abid dan mujahid. Menjadi orang dunia dan Akhirat. Bukan dunia saja dan bukan Akhirat saja. Untuk itu pemimpin mesti memiliki ilmu dan pengalaman mendidik yang cukup.

b. Memimpin atau memandu rakyat untuk membangun tamadun insaniah dan tamadun materiil dalam negara. Semua tenaga manusia hendak digemblen agar sama-sama membangun dan menciptakan tamadun. Jangan ada yang tercecer, menganggur dan hidup tanpa tujuan. Dan jangan sampai negara terlantar, berhutang, dipermainkan atau huru-hara.

c. Menjawab 1001 macam masalah yang timbul dari masa ke masa dan menjawab 1001 tanda tanya yang timbul dalam masyarakat. Kalau hal-hal seperti itu tidak diselesaikan, negara akan kusut dan kocar-kacir. Maka untuk itu seorang pemimpin perlu mendapat pertolongan dari ALLAH secara nyata atau gaib dan mendapat ilmu ilham dari ALLAH untuk menjawab setiap persoalan. Di mana semua itu hanya diberi kepada pemimpin yang bertakwa.

Firman ALLAH:
Barang siapa yang bertaqwa kepada ALLAH niscaya ALLAH lepaskan dia dari masalah hidup dan memberi rezeki dari sumber yang tidak diduga. (Ath Thalaq: 2-3)

FirmanNya lagi:
Bertaqwalah kepada ALLAH, niscaya ALLAH akan mengajar kamu.(Al Baqarah: 282)

ALLAH menjadi pembela (penolong) orang yang bertaqwa. (Al Jasiyah: 19)

Barangsiapa yang bertakwa akan terlepas dari kejahatan (musuh). (Ath Thalaq: 5)

d. Pemimpin hendaklah menjadi pribadi contoh di mana dengan melihat kehidupan pemimpin, rakyat dapat meniru. Untuk itu pemimpin mesti bagus ibadahnya dan akhlaknya seperti merendah diri, pemurah, sabar, lapang dada, zuhud, pemaaf, pengasih, berani, jujur, ikhlas, gigih berjuang dan berkorban dan macam-macam sifat baik lagi. Untuk itu, pemimpin mesti bertakwa. Hanya takwa yang dapat mengawal dan mendorong akhlak yang baik itu dari kejahatan nafsu dan syaitan.

e. Merancang dan memberi panduan serta ide untuk pembangunan. Untuk itu pemimpin mesti memiliki ide, buah fikiran, strategi dan kreatif. Pemimpin tidak boleh emosional, berfikiran buntu, gopoh-gopoh, lemah jiwa, merajuk, putus asa dan lamban. Fikiran mesti tajam, jiwa mesti kuat, perasaan halus dan fisik tangkas.

Sebab itu dalam Islam, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Selain itu karena otaknya tidak terlalu tajam untuk menjangkau kemungkinan- kemungkinan masa depan atau yang tersirat, fisiknya juga mudah lemah dan emosionalnya tinggi. Kaum lelaki juga kalau sifatnya demikian tidak layak menjadi pemimpin walaupun ia pandai berbicara dan ijazahnya tinggi.

f. Kebijaksanaan menewaskan musuh. Kita tidak mungkin mengelak dari orang-orang yang mau menjatuhkan kita. Musuh tidak boleh disalahkan karena memang itu kerjanya. Yang penting kita mesti menewaskan dia. Pemimpin mesti licin dan bijaksana dalam menghadapi musuh. Sekali lagi, pimpinan ALLAH dalam hal ini sangat penting.

Untuk itu takwa juga yang menjadi syaratnya. Sayidina Umar berkata, "Aku lebih takut pada dosa-dosamu daripada musuh- musuhmu. Sebab bila kamu berdosa, ALLAH akan membiarkanmu kepada musuhmu."

Lihatlah, betapa beratnya kerja pemimpin. Tidak boleh dibuat senang-senang dan oleh sembarang orang. Karena itu, memimpin tidak boleh menjadi rebutan dan diperdagangkan.

Sebab hanya boleh dibuat oleh orang-orang khusus, yang memang dikaruniakan kebolehan dari Allah, orang yang terdidik dan dipimpin oleh ALLAH. Otaknya tajam, jiwa asalnya tahan bagaikan besi baja. Akhlaknya terbentuk dari kecil, strateginya lihai, fikiran tembus dan kecenderungan memimpin bukan untuk kepentingan atau dilantik dengan resmi di majelis permusyawaratan.

Orang seperti itu, kalaupun tidak dilantik, dia boleh memimpin. Orang lain tidak boleh merebut dan mencuri kebolehannya memimpin. Orang seperti itu diangkat menjadi pemimpin bukan dengan jari atau suara tapi dikehendaki oleh hati. Orang suka dengan kepemimpinannya bukan hasil kampanye atau memperjualbelikan suara.

Hasil dari kerja kepemimpinan yang sudah dibuktikan, manusia akan merasa berhutang budi karena kerja dan jasa kepemimpinannya, sebelum ia dilantik menjadi pemimpin resmi.

6. Bila orang itu mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin sementara rakyat belum yakin dengan kebolehannya, karena belum terbukti bahwa ia adalah pemimpin, maka ia mesti berlakon menjadi pemimpin.

Ia akan mengangkat-angkat diri dan membuat janji-janji manis yang tidak ada jaminan untuk dilaksanakan. Ia juga mesti menghina pihak lawan yang menentang pencalonannya. Karena takut kalah, demi mendapatkan suara, kerja-kerja kampanye dan membeli suara terpaksa dilakukan.

Perebutan sengit itu tidak mungkin selamat dari riya', ujub, sombong, benci, dendam, marah, tipu, berpura-pura, hasad dengki, menyebut-nyebut janji muluk yang palsu dan mazmumah lain. Ia juga akan memfitnah, mencerca, mengejek dan lain-lain.
Alangkah kotornya jalan itu. Alangkah bahaya dan jahatnya.

Orang Barat pun mengakui dengan ungkapan Politic is a dirty game. Yang kalah akan merasa terhina dan yang menang membusung dada. Rasa sengketa tidak akan terkikis dari jiwa-jiwa mereka. Kepemimpinan seperti itu mustahil akan dapat mewujudkan perpaduan yang murni dan kerja sama yang baik.

Sepanjang masa, pemimpin akan merasakan pimpinannya senantiasa ditentang dan kedudukannya terancam. Lalu dia akan senantiasa mencari jalan untuk mempertahankan kedudukan. Tugas kepemimpinan sudah menjadi barang yang diperebutkan untuk kepentingan pribadi dan duniawi semata-mata.

7. Untuk mempertahankan kursi yang dibeli tadi, pemimpin juga sanggup membuat apa saja sekalipun menindas, menipu, mengancam dan menghukum. Pihak lawan akan dianaktirikan dan pendukung terpaksa dijaga hatinya. Kehendak pendukung mesti ditunaikan sekalipun hati nurani tidak setuju. Artinya rakyat yang menentukan corak pemerintahan. Pemimpin ikut saja. Pemimpin dididik oleh rakyat. Maklumlah dia wakil rakyat dan bukan wakil ALLAH.

Sering terjadi dua partai yang berbeda dasarnya, bekerja sama untuk menentang partai pemerintah yang juga berbeda dasarnya. Mengapa sekarang boleh mendukung seseorang dan menentang yang lain? Sedangkan kedua-duanya tidak sefaham dengannya. Itu tandanya mereka berjuang bukan untuk mempertahankan dasarnya, tapi lebih bermotif untuk menang dan mendapat kedudukan.

Baru-baru ini terjadi Kerajaan Kelantan yang katanya Kerajaan Islam, karena naik melalui pemilihan, terpaksa mengambil hati dan menjaga hati rakyat agar terus memilihnya. Maka pemain dan peminat olah raga didekati dan diberi hati. Sedangkan olah raga yang dilaksanakan hari ini, umumnya tidak bercorak Islam. Sepatutnya rakyat mesti tunduk pada dasar pemerintah tetapi terjadi hal sebaliknya, di mana pemerintah tunduk pada kemauan rakyat.

8. Pemerintah yang naik melalui suatu partai politik pasti tidak selamat dari sentimen kepartaian. Yakni akan mengutamakan orang-orang partainya dengan menganaktirikan rakyat yang lain, yang tidak separtai dengannya. Sudah tentu golongan-golongan lain tidak puas. Keadilan dan perpaduan sebenarnya tidak dapat ditegakkan selama-lamanya.

Hal ini terbukti dalam pengalaman kita yang sudah sekian lama hidup dalam negara yang mengamalkan demokrasi Barat ini. Partai pemerintah belum terbukti dapat membuat semua atau mayoritas rakyat mengakui dan membantu dasar yang diperjuangkan. Sedangkan dalam pemerintahan Islam, orang bukan Islam pun terima dan bekerja sama menjayakan kemajuan.

9. Biasanya pemimpin atau pemerintah yang ditunjuk oleh jari ini, mereka tidak dicintai dengan kasih murni dari hati. Kasih rakyat pada mereka kalaupun ada adalah karena kepentingan- kepentingan jabatan, gaji atau subsidi yang diharapkan. Ketaatan yang diberikan, hanya di depannya saja. Sedangkan di belakang mereka, rakyat menipu dan durhaka.

Sebab itu pemimpin tersebut, kalau berbuat salah walaupun secara tidak sengaja mereka akan dicaci maki dan dijatuhkan. Rakyat mudah melupakannya apalagi kalau sudah tidak berkuasa. Baru saja pensiun, hidup mereka sudah terbuang, tersisih dan terhina. Bila mereka mati langsung dilupakan orang. Maqamnya tidak diziarahi.

Padahal pemimpin-pemimpin Islam, maqamnya diziarahi walaupun sudah beribu tahun. Kalau seperti itulah demokrasi Barat, untuk apa lagi dipertahankan dan diperjuangkan? Kalau sudah nyata kotor, buruk dan jahat, mengapa diikuti? Tidakkah yang menerimanya itu artinya memiliki sifat yang sama juga?

10. Satu lagi keburukan demokrasi adalah memungkinkan dilantiknya musuh untuk menjadi pemimpin. Yakni musuh melobi untuk menjadi calon. Karena pandainya berkampanye, dia menang untuk menjadi pemimpin kepada rakyat.

11. Di satu kawasan yang mayoritas orangnya jahat, maka wakil yang naik atas suara mayoritas itu pun biasanya orang jahat. Kalaupun orang baik menjadi calon di sana, pasti kalah.

Bagi orang-orang yang mencintai kebenaran, mereka tentu mencari-cari satu cara baru yang suci, bersih dan mulia. Apakah tidak ada lagi di dunia ini kebenaran dan kemuliaan sehingga manusia terpaksa bergelimang dengan najis dan kejahatan demokrasi? Jawabnya ada, yaitu Islam. Yakni kebenaran mutlak yang datang dari ALLAH termaktub dalam Al Quran, tergambar dalam Sunnah Rasulullah SAW dan perjalanan Khulafaur Rasyidin.

Sebenarnya pemilihan pemimpin secara demokrasi itu sudah berjalan sejak 4-5 ribu tahun dahulu oleh orang-orang Yunani. Karena manusia waktu itu tidak banyak, maka mereka menjalankan demokrasi secara langsung. Yakni semua rakyat datang ke satu dewan persidangan untuk mewakili diri masing-masing dalam acara pelantikan pemimpin yang hendak dibuat. Misalnya penduduk sepuluh ribu orang maka kesepuluh ribu orang itu datang untuk menyatakan pandangan dan menentukan pemimpin yang dikehendakinya.

Dari situ kelihatan bahwa orang-orang sekuler itu memandang tujuan melantik pemerintah ialah untuk menjalankan kehendak-kehendak rakyat. Sebab itu mereka dinamakan wakil rakyat. Sedangkan dalam Islam, pemerintah bukan wakil rakyat. Tetapi wakil ALLAH (khalifatullah) untuk menjalankan pemerintahan menurut cara yang ditentukan oleh ALLAH. Kedua pandangan itu mempunyai maksud, cara dan tujuan yang amat berbeda.

Kembali pada masalah memilih pemimpin dengan cara demokrasi itu, yang telah diwarisi hingga hari ini oleh orang-orang sekuler, tidak lagi dapat dibuat secara langsung. Sebab utamanya ialah karena manusia sudah terlalu banyak. Jadi tentu tidak praktis kalau berjuta-juta manusia itu hendak dikumpulkan di satu tempat untuk menjalankan pemilihan pemimpin.

Lalu demokrasi itu disesuaikan menjadi demokrasi tidak langsung. Yaitu demokrasi perwakilan rakyat. Di mana beribu-ribu rakyat di satu kawasan akan memilih wakil-wakil mereka di parlemen melalui pemilihan umum. Wakil itulah yang membawa identitas, hasrat, pandangan dan seterusnya menyuarakan kehendak-kehendak rakyat. Wakil itu dikenal sebagai wakil rakyat.

Masalahnya, Apakah betul wakil rakyat itu mewakili rakyat? Kalaulah rakyat di kawasan itu adalah petani, hidup ala kadarnya, menginginkan hidup yang berkecukupan dan pemimpin yang berjuang untuk kebaikan hidup mereka dunia dan Akhirat, apakah wakilnya juga akan membawa identitas dan hasrat yang sama?

Ataukah pemimpinnya pergi membawa identitas dan hasrat pribadinya yang telah diperoleh dari hasil amanah rakyat yang dikhianatinya? Ataukah pemimpin itu sudah berlagak menjadi orang besar dan kaya, yang bicaranya pun besar serta mau memperjuangkan kebesaran dan kekayaannya itu?

Saya lihat itulah yang terjadi sekarang. Rumah wakil-wakil rakyat bagaikan istana gagah berpagar, di tengah-tengah rumah-rumah kayu rakyatnya. Mobil wakil-wakil rakyat bagaikan singa melintasi deretan rakyat yang berjalan kaki atau bermotor. Sandang pangan wakil rakyat, adalah sesuatu yang mustahil dapat dirasakan oleh rakyat.

Begitu menjadi wakil rakyat, ia berjuang atas nama rakyat yang diamanahkan padanya untuk membuat dirinya serta keluarganya berbeda dengan rakyat. Gayanya seolah-olah wakil dari kalangan orang-orang kaya dan raja- raja, bukan lagi mewakili rakyat yang serba daif dan sederhana. Aneh, wakil rakyat sepatutnya betul-betul merakyat. Ia adalah bayangan rakyat untuk menyuarakan hasrat rakyat. Bagaimana bisa bayang-bayang lain dari obyeknya.

Suaranya pun sudah lain. Tentu ada sesuatu yang sudah salah. Yaitu menyalahgunakan amanah rakyat, khianat dan zalim dengan tugas yang dipikulkan oleh rakyat. Hal ini mesti disadari oleh kita semua. Supaya segala penyakit masyarakat dapat dipastikan untuk diobati demi tercapainya masyarakat idaman yang aman, makmur dan mendapat keridhaan ALLAH.

Selain dari pemilihan pemimpin dengan suara rakyat ini, ada satu lagi cara kenaikan pemimpin yang dibuat di dunia. Yakni cara diktator. Cara itu sebenarnya lebih jahat dan kejam. Hal itu terjadi secara kekerasan oleh seorang yang ingin berkuasa. Dengan menggunakan kuasa tentara, ia menggulingkan pemerintah yang ada, lalu naiklah ia bertakhta memerintah negara. Rakyat mesti menerimanya, rela atau terpaksa.

Dia monopoli kekuasaan untuk dirinya saja tanpa seorang pun dapat campur tangan dalam urusan pemerintahan. Dengan itu ia memerintah dengan leluasa, sesuka hatinya. Siapa mencoba mengritik akan ditangkap dan dipenjarakan. Pemerintahan diktator ini terkenal sekali kejamnya dalam sejarah. Bertakhta di hati, beraja di mata. Pemerintahan seperti itu hari ini terbentuk di Syria, Libya, Iraq, Myanmar, Kuba dan tempat-tempat lain.

Dalam tajuk berikut akan saya uraikan sistem demokrasi terpimpin yang terdapat dalam Islam. Yakni bagaimana pemilihan pemimpin itu dibuat.

Moga-moga ALLAH akan mengajar kita tentang kebenaran itu untuk difahami dan diperjuangkan.

FirmanNya:
Bertaqwalah kamu kepada ALLAH, niscaya ALLAH akan mengajar kamu. (Al Baqarah 282)


asz...